Sunday, October 21, 2007

Tuhan

Tuhan sudah mati, gumam seorang Zarathustra.

Tuhan sudah mati ?

Zarathustra bersunyi di puncak pegunungan bertahun-tahun, mencari esensi semesta dan dirinya sendiri. Suatu hari ditatapnya sang mentari pagi. "Hai bintang yang besar. Macam apa kebahagiaanmu tanpa adanya mereka yang kau sinari." Dan turunlah ia ke kota-kota, ke yang dinamakan peradaban. Mengajak manusia untuk mengerti arti keberadaannya di semesta ini, memahami kebesaran dirinya sendiri, menolak kebergantungan pribadi pada apa pun. "Tuhan sudah mati." Zarathustra membunuh Tuhan.

Tentu, ini Zarathustra rekaan Nietzsche. Nietzsche yang hidup di akhir abad ke 19. Kita tahu apa itu akhir abad ke 19. Ilmu pengetahuan dan teknologi sedang mencapai puncaknya, atau setidaknya mereka pikir begitu. Newton dan kawan-kawan membuat semua orang yakin bahwa semesta itu merupakan kalkulasi linear yang dapat diuji, dengan sebab akibat yang jelas. Dan pengaruhnya terekstrapolasi ke Darwin, Marx, juga kemudian Freud, entah siapa lagi. Barangkali 70% ilmu fisika sudah dikuasai, sisanya bisa diprediksikan, dan ilmu-ilmu lain analog dengan fisika. Memang Tuhan yang ada di kitab-kitab itu pantas mati.

Tapi dengan itu, Nietzsche sedang mengajarkan Tuhan yang lain lagi.

Memang kemudian ia melihat Tuhan barunya itu ternyata stagnan, dan tidak berharga. Dan barangkali hendak ia bunuh pula. Mungkin itu sudah dia lakukan. Barangkali itu yang merusak sistem rasionya sehingga ia kehilangan akal dalam tiga tahun terakhir hidupnya. Dan waktu abad ke 20 masuk, ia mati bersama Tuhannya. Bukan cerita dengan happy end.

Masuklah kita ke abad 20. Mulai dengan matematika baru yang menolak postulat Yunani, kemudian relativitas, teori kuantum .. termasuk interpretasi kuantum atas 'kebenaran'. Oh ya, ini sudah sering kita bahas di sini. Yah, dikit lagi deh. Jangan bosan dulu yah.

Seperti biasa, saya lupa lagi, sebetulnya kita itu bagian dari semesta, atau konsep akan semesta itu merupakan bagian dari konsep diri kita. Kelihatannya tidak ada bedanya. Tapi yang jelas, abad ke 20 ini membuat kita mengenali kembali Tuhan dalam bentuk yang berbeda. Einstein masih mengakui Tuhannya yang lama, jadi dia tidak mau mengakui mekanika kuantum dengan alasan "Tuhan tidak bermain dadu" -- seolah logika seorang Tuhan harus bisa dimengerti logika seorang Einstein. Tapi memang mau tidak mau kita harus berkiblat ke mekanika kuantum, dst. Dan Tuhan jadi causa sistem matematika yang indah ini. Waktu kita bahas chaotic system, kita lebih kagum lagi pada keindahan sistem matematika Tuhan. Ilmuwan jadi punya agama. Entah agama bernama atau agama tanpa nama.

Tuhan jelas jadi dianggap ada. Tapi seperti apa ? Sistem super formula ? Atau simbol gerak alami semesta ? Atau profil Sang Bapa ? Setiap hari kita bisa membahas hal yang berbeda, dan menemukan Tuhan yang berbeda :).

Mekanika kuantum memang memungkinkan bahwa setiap obyek menampilkan sifat sesuai yang kita amati. Contoh yang sering disebut adalah bahwa elektron bersifat sebagai materi kalau diamati sebagai materi, dan bersifat sebagai gelombang kalau diamati sebagai gelombang. Relativitas memungkinkan bahwa peristiwa A mengakibatkan B atau B mengakibatkan A bisa keduanya benar sekaligus. Chaos memungkinkan bahwa faktor yang cukup minor bisa memiliki perubahan arti yang besar pada akibat.

Apakah Tuhan bisa hidup dan mati sekaligus. Apakah 'iman' dan 'kafir' bisa sinonim. Jelas ada satu sesuatu yang menggerakkan semuanya secara rapi, tapi kenapa tidak bisa kita jangkau. Kenapa semakin ingin kita mendekati kebenaran, semakin dikacaukan logika kita.

End.
Abis mau ke mana ? Kan logikanya sudah kacau.
Ya sudah, kita rewind dulu. Tunggu.
Nah, kita rewind ke abad, hemmm, bentar, nggak terbaca. Itu saat sekelompok orang berperadaban agak minim, mensaksikan bahwa Tuhan-Tuhan itu tidak ada dan akibatnya tidak perlu diakui. Yang harus diakui hanyalah Allah. Dan kesaksian itu sendiri bukan murni dari sistem rasio mereka. Allah sendiri yang telah melakukan intervensi verbal melalui seorang utusan-Nya yang saat itu hadir di antara mereka.

Sekian abad kemudian, kita baru mempercayai. Bahwa Tuhan-Tuhan itu tidak valid dan tidak perlu diakui. Bahwa sistem semesta ini teratur rapi oleh dan untuk maksud Allah yang satu [begitu satunya, tak terpilahkan], yang tak terbandingkan. Bukan Tuhan dalam bayangan manusia yang bertahta entah di ketinggian berapa, atau mengkalkulasikan super formula seperti apa. Bukan juga Tuhan yang teribaratkan, dan juga bukan Tuhan yang tak terjangkau. Tapi Allah, yang satu, yang berkehendak, yang mendidik, yang menyayangi, yang mau menjangkau manusia dengan komunikasi.

"Tidak ada orang yang beriman, kecuali atas kehendak-Nya"

Matikan Tuhan-Tuhan dari dalam pikiran kita. Matikan juga diri kita yang menjadi Tuhan atas diri dan semesta kita. Lupakan semua ketinggian diri. Lupakan juga semua bangunan bangunan sesembahan yang mewah berlapis ego kita. Tuhan-Tuhan yang itu seharusnya sudah mati dari dalam diri kita.

Berendah lah. Kita tidak punya daya upaya untuk memengerti Allah. Tidak ada artinya semua kata-kata itu [dan ini]. Berharap saja lah. Nietzsche sudah berusaha keras, dan dia pikir tinggal sedikit lagi. Tapi apa yang dapat melawan kehendak Allah.

"Tidak ada satu pun yang dapat menolong, kecuali atas kehendak-Nya, Allah, pendidikmu. Tidakkah kau mendapatkan peringatan ?"

Peringatan-peringatan itu sudah begitu seringnya, menggugah kita. Tapi kita acuh karena sedang asyik mengejari Tuhan atau Tuhan-Tuhan kita masing-masing, yang terus menyelubungi kita dan pikiran dan perasaan kita. Peringatan itu ada ! Dan bahkan telah diberikan peringatan di atas peringatan untuk juga memberikan peringatan :

"Hai orang berselimut ! Bangun ! Dan berikan peringatan !"

Lemparkan Tuhan-Tuhan yang ternyata hanya simbol-simbol bayangan di dalam selimut kita. Kembalikan diri kita hanya pada Allah, dengan ridla, dan dengan ridla-Nya. Rekam kembali kesaksian, syahadat kita.

No comments: